Wisata ke Tanakita

Mohon maaf gan ini pembukaannya agak panjang ya, supaya rasanya ga baru mulai (baca) udah selesai aja.

Saya sudah cerita belum sih kalau saya punya adik yang sangat hobi dengan cerita mistis? Film film Suzanna aja sudah hapal di luar kepalanya. Saya jadi teringat suatu saat kami ke pasar malam di dekat rumah, dan di sana dia membeli VCD Malam Satu Suro. Sontak saya menjauh, pura pura tidak kenal.

Oleh karena itu dari jauh jauh hari sebenarnya kami sudah punya rencana untuk mencicipi event Haloween teristimewa di Singapur. Tapi manusia bisa berencana, kurs dolar ikut menentukan. Walaupun menurut ekonom kenaikan ini gak bikin negara krisis, tapi bagi sosialita kere macam kami tetap berpengaruh. Lagipula saya belum punya jatah cuti, sehingga ke Singapur hanya dalam 2 hari.. hmm.. eman eman rasanya.

Setelah diskusi dengan beliau (adik saya), kami memutuskan untuk mengalihkan rencana jalan jalan kami ke Tanakita. Informasi tentang tempat glamping ini sebenarnya sudah masuk dalam radar saya beberapa tahun lampau sebelum euforia glamping menjamur dimana-mana. Yang belum tau glamping, bisa tanya mbah Google ya.

Berbekal informasi dari internet, Sabtu pagi kami sudah berangkat ke stasiun Cawang untuk menuju Bogor. YAK, kita akan menuju lokasi menggunakan angkutan umum. Ini sudah menjadi tekad bulat kami dari awal karena mendengar kata SUKABUMI yang merupakan lokasi Tanakita, saya sudah ga sanggup jika harus menempuhnya menggunakan mobil pribadi. Sebelum bercerita lebih lanjut, saya tampilkan dulu total kerusakan perjalanan kami bertiga :

Tanakita Satu malam 3 x 550.000 1.650.000
Go Car ke Stasiun Cawang PP 2 x 60.000 120.000
Stasiun Cawang ke Stasiun Bogor PP 2 x 3 x 5.000 30.000
Stasiun Paledang ke Stasiun Cisaat PP 2 x 3 x 35.000 210.000
Angkot Cisaat - Tanakita PP 200.000 200.000
Masuk Air Terjun Situ Gunung 3 x 50.000 150.000
Jajan Pop Mie, Minuman Dingin, dan Cilor 100.000
Total 2.460.000

Untuk menuju Sukabumi, dari stasiun Bogor kami harus pindah ke stasiun Paledang. Tempatnya tidak jauh dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi sedikit merepotkan karena kita harus naik jembatan penyeberangan dulu, nyeberang jalan di antara riuhnya angkot Bogor dan berjalan kaki di tengah teriknya matahari. Semoga ke depannya dua stasiun yang saling terpisah ini bisa disatukan. Aamiin.

Kereta yang membawa kami ke Sukabumi akan jalan jam 13.10. Berbeda dengan commuter line yang bisa dibeli saat akan berangkat, tiket kereta ini harus dipesan terlebih dahulu. Saya memesan seminggu sebelumnya via tiket.com. Karena jumlah tempat duduk yang terbatas, ada baiknya pemesanan tiket dilakukan jauh hari. Sembari menunggu, kami isi waktu dengan makan siang di sekitar stasiun dan juga shalat zuhur. Adik saya mengisi waktu dengan membaca novel kegemarannya.


Untuk menuju Tanakita, kita harus turun di stasiun Cisaat, yang merupakan dua stasiun sebelum stasiun akhir. Jadi jangan sampai tertidur di tengah jalan. Etapi tenang aja karena setiap akan tiba di sebuah stasiun, sang masinis akan memberikan informasi melalui pengeras suara.

Sampai di Cisaat kami sudah disambut oleh kang Eries. Beliau adalah supir angkot yang kami pesan melalui Tanakita. Awalnya kami berkeras tidak pesan angkot jemputan, karena tarifnya 200 ribu untuk pergi dan pulang, sementara kami cuma bertiga. Akan tetapi berhubung kami belum tau lokasi, maka akhirnya di saat menjelang keberangkatan kami baru memutuskan untuk carter saja supaya tidak ribet. Alhamdulillah keputusan yang kami ambil tidak salah, karena jalannya yang jauuuuuuuuuuuuuuuh dan menanjaaaaak.

Di tengah perjalanan, baru saya sadari kalau lokasi Tanakita berada di Situ Gunung yang merupakan kaki dari Gunung Gede Pangrango. Saya jadi teringat obyek wisata jembatan gantung terpanjang yang baru dan lagi in di instagram. Saat berniat untuk bertanya apakah obyek ini dekat dengan lokasi penginapan, BLAR... ternyata plang obyek wisatanya lewat di depan mata. Jaraknya hanya selemparan kolor (raksasa) dari Tanakita sendiri.

Maka dengan semangat membara, begitu sampai ke Tanakita, kami tidak menyia-nyiakan waktu untuk turun ke jembatan. Tiap orang dipungut karcis 50 ribu rupiah. Jembatannya emang sangat panjang. Saya dan adik menggoda Mbak Iyah yang gemetaran saat melintas jembatan. Akan tetapi seluruh ketakutan terbayar dengan hamparan pepohonan yang luas menghijau, di bawah sana.




Fasilitas yang ditawarkan di Tanakita sesuai dengan harganya, meski mereka lebih mengutamakan kenyamanan hidup di lokasinya. Gimana nggak, dikasih makanan enak 3 kali dengan seduhan kopi sepuasnya. Malam hari kamu bisa mencicipi jagung bakar dan bandrek sembari melingkari api unggun dan diiringi oleh alunan lagu lagu akustik. Mas Cecep, sang vokalis punya suara yang membius saya ingin ikut bernyanyi, walau abis itu dia merangkap sebagai pemandu saat melihat kunang-kunang.

Apa? Kunang-kunang?

Iya. Ada acara mencari kunang-kunang. Tapi jangan bayangin dapatnya macam adegan di film Heart ya. Dapat satu atau dua aja sudah syukur. Untungnya gak lihat hal hal yang supranatural.

Tenda yang dipakai di Tanakita adalah tenda yang punya beranda dulu di dalamnya, baru ada ruangan kecil lagi untuk kita tidur. Satu ruangan cukup untuk tidur 4 orang yang berjejer macam kaleng sarden. Udara di sana lumayan dingin, walau tidak terlalu menggigit seperti kalau kita wa seseorang tapi ga ditanggepin (lah). Dan paginya kita bisa nyobain bikin pancake, sarapan, dan tracking ke danau atau air terjun. Tanakita juga menawarkan kegiatan river tubing dengan charge tambahan. Sayang karena keterbatasan waktu (dan uang) harus kami lewatkan.



Pukul 10.00 kami bergegas turun menuju stasiun Cisaat. Mas Eries bertanya mengapa tidak ambil kereta sore. Saya pun kaget dan meyakini bahwa saat memesan tiket pulang yang ada hanyalah jadwal jam 10.30. Karena itu jam 15.00 kami sudah kembali di rumah.

Tanpa capai, dengan kesenangan yang paripurna.

Comments

Popular posts from this blog

Tujuh...

Keputusan Sulit

#$@%$&$*