27


Dunkin Donut Cik Di Tiro Jogjakarta, 7 Mei 2012

Saya sedang menunggu Mbak Wulan yang masih rapat. Kami berencana (tepatnya saya sih yang setengah memaksa) bertemu sebelum saya kembali ke Jakarta. Mbak Wulan adalah senior saya lainnya yang juga menjadi wakil kepala bagian di kantor wilayah kami di Jogja. Kami dulu berkerja di group yang sama. Parasnya ayu rupawan tapi semangatnya kuat bak binaragawan.



Saat menulis artikel ini sejujurnya saya sangat letih sekaligus kenyang. Saat saya bermaksud menemui mbak Wulan di kantornya, ternyata beliau masih rapat. Akhirnya saya  menepi di sini dengan sepotong donat dan mocha coolata. Padahal sebelumnya saya baru saja sarapan. Menjadi solo backpacker itu salah satu dukanya adalah ketika barang bawaan kamu sudah overload dan punggungmu teriak-teriak minta dikecup koyo. Saat libido belanja saya masih bergairah melihat barang-barang di Malioboro, supaya lebih nyaman, gembolan besar ini harus dititipkan terlebih dahulu. Maka menyantap nasi goreng dan es jeruk sebenarnya adalah #modus belaka supaya si Ibu mau dititipin tas hihihihihi.

Oh ya, bagaimana perjalanan saya menuju Jogja?

Kereta MALABAR (namanya terdengar cihui yah?), berangkat tanpa ingkar janji. Saya mendapat kelas bisnis yang mengingatkan saya pada masa-masa pulang kampung dengan kereta senja utama dulu. Di perjalanan, sang pramusaji secara lihainya menggoda saya lewat nasi dan mie goreng yang ngepul dan wangi. Niat saya saat itu mencicipi nasi pecel atau rames yang dulu sering dijual saat kereta singgah di suatu stasiun.  

Satu stasiun lewat, tidak ada yang jual...
Dua stasiun lewat, tidak ada…
Tiga stasiun, “Mas mie gorengnya satu deh,”

Usai saya menyantap mie goreng kereta, di Kertosono para pedagang beramai-ramai berteriak “Nasi pecelnya!! Nasi rames!!” GAH.

Pukul 23.45 kereta berhenti di Jogjakarta. Sebenarnya banyak referensi tempat menginap yang tersedia. Mbak Wulan, Nicky (junior saya di kantor), atau Mas Adi (keponakan ex bos). Tapi manalah saya tega ngetok rumah orang jam segitu, untuk kemudian keluar lagi di subuh buta?? Maka saya lebih memilih untuk merasakan dinginnya kursi peron stasiun tugu setelah sebelumnya saya supper nasi rames isi gudeg (tetep penasaran bok!)

Dalam suasana seperti itulah saya merasakan sepi. Jauh dari keluarga, teman, ataupun kenalan. Percaya atau tidak, baru saat itu saya mengamati semua list avatar teman-teman saya di BBM. Beruntungnya ada satu atau dua teman chat yang bisa saya ajak bicara, sesuatu yang sering saya lupakan karena kesibukan.

Pukul 03.00 dini hari, udara dingin menusuk kulit. Saya sudah berada di sepeda motor menuju Magelang dengan kecepatan angin kinton. Inilah sebenarnya tujuan pamungkas saya, yang tidak saya ceritakan di awal mula. Saya ingin menikmati matahari terbit di tempat yang tak biasa untuk hari yang tak biasa. Dimana doa-doa dan impian diharapkan akan terjadi, seperti mitos memegang Buddha dalam stupa candi.  Di kala keinginan untuk menjadi sukses dan menginspirasi, seperti halnya sang penemu, Rafless.



Di saat sang surya menyingsing di ufuk timur, saya tersenyum bersyukur, masih diberi umur…..

Comments

Popular posts from this blog

Tujuh...

Keputusan Sulit

#$@%$&$*