26


Tourist s don’t know where they’ve been.
Travelers don’t know where they’re going – Paul Theroux

Perumahan Belimbing Indah, Malang, 5 Mei 2012.

Pagi ini saya terdampar di sini, bersauh tepatnya, setelah nyaris 12 jam menghabiskan waktu di perjalanan antara Denpasar – Malang. Sudah lama saya tidak menghabiskan malam di atas bus. Perjalanan panjang terakhir hanya sebatas Solo – Jakarta dengan kereta api cepat.  Rasanya menarik, melaju cepat di gelapnya malam, dengan rentetan tembakan cahaya kuning dan merah yang berasal dari lampu dan rem kendaraan.

“Nanti sampai Malang terus gimana? Mau ngapain?” begitu pertanyaan hati kecil saat terombang-ambing di Selat Bali.

Jawabannya pun butuh waktu lama, hingga akhirnya saya jawab. “Gak tau,”

Yang saya tau bahwa saya harus berada Jogja pada hari Senin karena saya sudah pesan tiket pesawat pulang dari sana. Selebihnya, fleksibel, mengikuti nasib dan kemana hati melangkah. Awalnya saya berencana berangkat ke Malang pada Sabtu pagi. Kemudian mas Arieq, rekan kerja saya di Denpasar, kebetulan akan pulang ke Situbondo pada Jumat malam dan mengajak saya menuju Malang bersama. Hingga akhirnya, pagi ini saya sudah leyeh-leyeh di rumah Mas Ivan yang sejuk.

Stasiun Malang, 6 Mei 2012

Mas Ivan adalah senior saya di kantor. Awal kerjasama kami dimulai saat melakukan implementasi sebuah sistem di sebuah bank di Kuala Lumpur. Sikap dan etos kerjanya membuat saya menaruh hormat pada beliau. Saat ini Mas Ivan menjadi wakil kepala bagian di kantor wilayah kami di Malang. Sepanjang hari kami banyak bercerita, eh sebetulnya banyak saya sih yang mendengar. Banyak cerita menarik yang diperoleh darinya, sebagian besar tentang suka dan duka bekerja sebagai orang-orang di wilayah, bukan kantor pusat. Saya menginap sehari di rumahnya. Keluarganya sangat ramah sekali terhadap mahluk antah berantah yang numpang tidur di rumahnya ini. Mas Ivan juga punya jagoan bernama Akhdan yang pintarnya luar biasa. Ah, ingin rasanya punya keluarga seperti itu (bukan #kode).

“Ibu, itu temennya bapak kok ga pulang-pulang sih..??”
“…..”



Kemarin pagi saya sudah memesan tiket Sancaka jurusan Surabaya – Jogja. Rencananya jam 10.00 saya akan naik kereta ekonomi ke Surabaya kemudian pada pukul 15.00 berangkat ke Jogja. Tidak saya sadari rencana itu kemudian berubah  jadi bencana. Mas Ivan dan keluarga mengantarkan kepulangan saya ke stasiun. Setelah berdadah-bai-bai, saya pun menuju loket untuk membeli tiket ekonomi. Apa yang saya dapati di loketnya adalah :

“KA PENATARAN JURUSAN SURABAYA HABIS”

Setengah tak percaya saya tetap bertanya ke petugasnya. “Ekonomi, mbak??”
“Iya ini kereta ekonomi,”

Waduuh, saya pikir yang namanya kereta ekonomi itu adalah kereta yang tiketnya tinggal beli di saat keberangkatan dan bisa berdiri, macam KRL Jabodetabek. Ternyata ekonomi punya kuota juga. Dengan hati berdebar, saya menghampiri biro travel di samping stasiun. Apa daya ternyata keberangkatan ke Surabaya pun penuh. Ada apa ini dengan orang Malang mau pindah ke Surabaya??? Saya gak sadar, bahwa hari ini hari Minggu, dan banyak warga Malang yang bekerja di Surabaya menganut paham PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad). Saya memutuskan untuk menuju terminal Arjosari untuk mencari bis ke Surabaya.

Di dalam angkot menuju terminal pikiran saya terus bertanya-tanya. Kira-kira saya akan dapet bis kah? Jam berapa nanti saya akan tiba di Surabaya kalau naik bis? Saya akan turun di mana dan bagaimana saya harus mencapai stasiun Gubeng? Semuanya tidak dapat saya jawab dengan yakin. Alternatif lain muncul di depan mata.  Ada kereta dari Malang jurusan Bandung yang akan melewati Jogja pukul 23.00 nanti. Saya mencoba menelepon tiket kereta api, dan ada 4 kursi bisnis yang tersisa.

Di depan Politeknik Negeri Malang, di dalam ATM sebuah bank, dengan mengucap Basmallah, saya mengikuti kata hati saya yang lain...

Mungkin banyak pembaca (kayak ada aja :P) yang berpikir saya ini bodoh, nekat, miskalkulasi, dsb. Kejadian ini bisa dianggap sebagai latihan kecil dari bentuk rintangan yang menimpa diri di dalam kehidupan. Setiap orang punya cara sendiri-sendiri untuk mengatasinya. Dalam kasus ini, bisa dibilang saya menyelesaikannya dengan cost yang tidak murah.

Saat ini saya terduduk di sudut ruangan pemesanan tiket di stasiun Malang menunggu kereta MALABAR hingga pukul 15.30. Mau kembali ke rumah mas Ivan, rasanya sudah malu. Akan tetapi satu hal yang lebih penting adalah pikiran dan hati saya masih sibuk bertengkar. Mereka berdua sibuk untuk mencari pembenaran masing-masing. Dan saya, sulit untuk memaafkan diri sendiri…


 


Comments

Popular posts from this blog

Tujuh...

Keputusan Sulit

#$@%$&$*