Calon Pengantin

Kereta yang kutumpangi ini terus melaju, bahkan berlari. Seolah-olah melarikan diri dari sesuatu yang tertingal di belakang. Atau mungkinkah ini hanya perasaanku saja? Kusibak tirai hijau lusuh itu dan kemudian hamparan hijau tersaji melalui jendela kereta. Ada rasa bahagia menelusup dada, karena aku cukup hapal gambar hidup ini. Gambar yang kemudian akan berganti menjadi deretan rumah-rumah kecil dan kehidupan sebuah kota yang berjalan lambat. Dari kejauhan terlihat sebuah papan nama, makin lama makin membesar. Tugu. Aku pulang, entah lari dari kenyataan atau menjemput kenangan.

12 jam sebelumnya.

Aku berhenti sejenak. Kakiku terasa kebas. Hampir 12 jam ia tertekuk di kursi bis Solo - Pulogadung yang sempit itu. Masya Allah buruknya jalan pantura. Padahal setiap tahun melaluinya. Menghamba pada sebuah ritual bernama mudik. Membuat para malaikat catatan sipil sibuk bekerja untuk mengubah status mereka menjadi musafir masal.

Sebuah sepeda motor mendatangiku. Pengendaranya menggumamkan pertanyaan yang nyaris teredam oleh helmnya.

"Mas Furqan?" tanyanya.

Aku mengangguk. Kemudian mengulurkan tangan.

"Saya Umar," sapanya seraya menggenggam tanganku dengan erat. Umar meraih tas dari tanganku, "Sini mas saya bawakan barangnya,"

Aku merasakan ada beban yang sedikit lepas. Setelah memastikan ia membawanya dengan hati-hati, aku meminta ijin untuk pergi.

"Saya ingin mengunjungi famili sebentar" jelasku setelah Umar bertanya hendak kemana. "Insya Allah nanti sore kita ketemu lagi"

Tugu

5 tahun rasanya bukan waktu yang lama untuk warga jakarta dengan denyutnya yang berderap cepat. Akan tetapi sejauh-jauh seorang merantau pasti akan rindu kampung halaman.

Lisa mencolek lenganku, menyadarkanku dari lamunan panjang. Raut mukanya memintaku untuk membantunya menurunkan koper dari bagasi atas. Ya, Lisa adalah istriku. Baru kali ini aku punya kesempatan mengajaknya menyesapi kesederhanaan tanah tempatku dibesarkan.

Angin lembab jogja menyapaku begitu aku menuruni tangga kereta. Bayanganku kembali ke suasana 5 tahun lalu, ditangga ini. Saat itu aku hendak merantau ke ibu kota. Bapak dan Ibu tak sanggup mengantar karena jarak desa dan stasiun tugu yang cukup jauh dan kami tak memiliki kendaraan yang memadai. Hanya sahabatku yang menemaniku hingga ke tangga ini.

"Kamu yakin Gun, mau merantau ke Jakarta?" tanyanya meyakinkanku.
Aku mengangguk mantap , "Doakan aku, man"
Ada jeda cukup lama hingga aku tak tahan memeluknya. Ia membalas dekapanku cukup erat. "Aku titip bapak dan ibu," pintaku.
"Jaga dirimu baik-baik" ia menjabat tanganku kuat. "Sering-seringlah kirim surat untuk bapak dan ibu"

Seiring laju kereta yang makin menjauh, ia mulai menghilang dari pandangan. Siapa yang menyangka persaudaraan ini akan berakhir hari ini??

Lisa kembali menggamit tanganku dan aku mempercepqt langkahku. Banyak orang-orang berkerumun di stasiun. Tapi ada yang lain kala itu. Wajah mereka tegang seolah olah sesuatu yang buruk telah terjadi. Hampir semua bisu menatap mematung ke televisi-televisi yang menayangkan breaking news.

"Ada apa, Bu?" aku berhenti sejenak bertanya pada wanita tua yang ada di tepi peron. Ada getar dalam suaranya dan setitik air di sudut mata.

"Jakarta dibom, mas..."
Aku terkesiap kaget... "Dimana??" tanyaku
"Gereja HKBP Halim"
Lisa menutup mulutnya tak percaya dan lututku lemas seketika

32

Aku menatap pada secarik kertas lusuh di tangan. Mungkin karena terlalu sering kugenggam sejak tadi. Nomornya benar, jalannya pun sesuai. Tak salah lagi, pasti ini tempatnya.

Rumah berpagar kuning ini mengangkat seluruh rasa letihku. Di depannya terdapat anyelir yang berbaris rapi. Sebuah taxi terpakir di depan gerbang. Jadi supir taxikah ia sekarang? Batinku bertanya-tanya.

Tak berapa lama muncul seorang pria dari dalam rumah. Sorot matanya begitu kukenal. Sorot yang meneduhkan dan kurindukan.

"Assalamualaikum" sapaku

Pria itu tak menjawab. Ia menatapku penuh tanya seraya memasukkan koper ke dalam bagasi.

"Gundala," sapaku penuh yakin bahwa kata ini akan menerbangkannya kemari.

Seketika mata pria itu terbelalak. koper yang ia bawa terlepas dari genggamannya. Seperti yang kuduga, ia melompat ke arahku, dan kemudian mencengkeran bahuku dengan kuatnya.

"p-man!" teriaknya. Panggilan akrabnya buatku. Aku tersenyum dan ia pun tertawa. Badanku diguncangnya keras. Matanya menyipit tertutup oleh senyummya yang lebar.


Kami menghabiskan beberapa waktu berbincang memperbaharui kondisi masing-masing. Bagaimana selama ini aku memilih pondok pesantren dan berdagang parfum, sementara ia sibuk dengan perusahaan mebel dan memberikan pelayanan pada jemaatnya.

"Mau kemana, Gun?" tanyaku melihat tumpukan koper di bagasi taxi yang belum tertutup.
"Pulang kampung man. Sudah hampir 5 tahun aku gak pulang" jawabnya. "kamu ada urusan apa di Jakarta?"

"Ada urusan dagang. Aku meminta alamat ini dari bapak dan ibu" jelasku.

Matanya kembali berbinar, "aku kangen sama bapak dan ibu, man!" akunya. "omong-omong urusanmu sudah selesai?" tanyanya. "mari pulang bersamaku. Perjalanan ini pasti akan sangat menyenangkan"

Ia merangkul bahuku. Ada hawa hangat merengkuh tubuhku. Seperti yang kurasakan 5 tahun lalu. "belum gun," aku menggeleng. "mungkin saat ini aku tak bisa pulang." tambahku "maka dari itu aku menemuimu"

Wajahnya menampakkan minat mendengarkan kata-kataku. Di smu dulu kami berdua tak terpisahkan. Banyak yang bilang tanpaku ia tak sempurna, padahal justru sebaliknya. Hidupku mungkin tak sempurna tanpanya.

"Kau tau, Gun? Semua akan indah pada waktunya," ada hawa hangat menerpa wajahku. Aku menunduk, mungkin saat ini warnanya sudah memerah. "Selama kita bersabar dan istiqomah, Insya Allah mendapat ganjarannya." dadaku berdegup kencang, otakku keram, hingga aku sendiri tak sanggup berpikir.

10 detik keheningan terjadi hingga ia mulai tertawa, "Aku bingung man kamu ngomong apa??" terangnya. "Tapi yang pertama tadi, indah pada waktunya itu, sering kudengar di kaset lagu rohaniku," ia meledakan tawanya "hahahahahahaha"

"Aku mencintaimu gun.." ucapku cepat dan ia masih tertawa.

"Hahahahahahaha"

"Aku..." mukaku merah padam. "cinta..." aku bersusah payah mengendalikan gemuruh batinku, sementara tawanya mulai menghilang

"Apa maksudmu, man?" ia masih berusaha mengendalikan napasnya.

"Aku...." suaraku tercekat. Ia menatapku dalam, mata yang kerap menelanjangi para lawan bicaranya. "Aku sayang.. "


"Aku pun demikian, man" dia memotong kembali ucapanku yang tergagap. "Setelah 25 tahun, kau sudah kuanggap seperti.... "

"Adik sendiri," kali ini aku mendahului penjelasannya. Aku mencoba menegakkan kepalaku, menantang tatapannya yang dari tadi mengaduk-aduk perutku. "Tapi bagiku kau lebih dari itu.."

Raut wajahnya menegang. "Kau membuatku takut, man" ucapnya pelan.

"Katakan apa artinya gun, saat hanya kamu yang terpikir di setiap pagiku. Saat darahku berdesir cepat mengingat kenanganku bersamamu...?"

"Kau gila man," matanya makin menatapku nyalang. "Mau kau rusak persaudaraan kita?"

"Bukan gun. Bukan mauku begini. Tapi demi Allah, cuman kamu satu utamaku."

Ia muntab. Berdiri dengan napas memburu. "Beraninya kau!!!" ujarnya geram. "Kau lihat semesta bahkan tidak memungkinkan ini, man! Kamu di solo, aku di Jakarta. Kamu muslim, aku kristen. Bahkan diantara kesamaan kita pun, ketentuan Tuhan tak mengijinkan. Tuhan Yesus, kita sama-sama laki-laki!!!" ia berteriak hingga seluruh tubuhnya bergetar. Tangannya terkepal dan aku menguatkan rahangku, kalau-kalau ia kalap.

Tiba-tiba dari dalam rumah muncul seorang perempuan yang langsung mendekapnya.

"Ada apa ini mas?" tanya perempuan itu dengan raut khawatir. Tanpa perlu dijelaskan aku pasti tau siapa dia.

"Dan satu alasan lagi, man. Ini. Istriku," ujarnya. Wanita itu tersenyum kecut ke arahku. Ia mengulurkan tangannya yang hanya kubalas dengan tangkupan takzim di depan dada. “Maaf Man, aku harus pergi sekarang,” ucapnya seraya berjalan cepat menuju ke depan pagar. Di bukanya pagar itu lebar-lebar, seolah-olah mengusirku dengan paksa.

Aku berjalan keluar seperti kerbau dicocok hidungnya. Sebelum pergi sempat aku bertanya, “Inikah akhir persaudaraan kita, gun?” tanyaku.

Ia tak berusaha menatapku. Mungkin jijik atas apa yang sedang terjadi. Dengan tegar kucoba menerimanya. Lima langkah berjalan dari pintu pagar, aku membalikkan badan kembali dan ia masih tercenung di depan sana.

“Akankah kau melupakanku, gun?” aku bertanya kembali.
“Bertobatlah atas nama Tuhanmu,” aku terkejut ia menjawabnya dengan lirih.
“Maafkan aku, “ pintaku, kemudian berbalik dan menghilang di persimpangan jalan.

1 minggu kemudian.

Aku tak pernah habis pikir apa maksudmu itu, man. Hari dimana kita seharusnya saling mengisi ruang rindu, tergantikan oleh amarah dan tangisan pilu. Apakah dendam yang melangkahkanmu ke gerejaku? Gereja tempat kuserahkan tenaga dan waktuku untukNya. Memilih mereka orang-orang tak bersalah menjadi korban amarahmu?

Beberapa waktu lalu, pihak polisi menanyaiku, man. Mengkonfirmasi apakah aku mengenal Furqan alias Firman, nama aslimu. Aku terpaksa berbohong, meski kutau, tak akan mungkin kumelupakanmu. Bagaimana bisa, man, jika di setiap khutbahku selalu kusebut namamu??

20.00

Allah Azza wa Jalla,

Hari ini hamba menghadap ke pangkuanMu. Berserah diri hanya padaMu. Untuk semua yang tak perlu hamba utarakan, tapi pasti bisa kau mengerti.

Allah Azza wa Jalla,

Siapakah penggerak hati ini? Saat sujud dan zikir hamba tersusupi seraut wajah manusia. Wajah yang kadang hadir di sela-sela penghambaanku. Hamba tak pernah meminta untuk jatuh cinta. Hamba bahkan tak pernah memilih untuk mendaratkan hati ini ke seorang perempuan, apalagi lelaki. Tapi siapakah yang perlu dipersalahkan, saat jantung hati ini berdegup kencang, dan bulu roma tiba-tiba meremang?

Allah Azza wa Jalla,

Hari ini hamba menghadap ke pangkuanMu. Berserah diri hanya padaMu. Menegakkan segala kebenaranMu. Mengorbankan seluruh jiwa dan ragaku. Oleh karena itu hamba tak ingin banyak meminta, selain di surga nanti, pertemukan hamba dengan Guntur. Karena itu satu-satunya yang hamba inginkan.

Seseorang memegang bahuku. Aku menoleh dan tersenyum. Umar ada di sana. Ia bertanya apakah aku sudah siap. Aku berdiri dan mengambil napas panjang.

“Sudah siap calon pengantin?” Umar kembali bertanya.

Aku tersenyum, kemudian mengangguk kecil. “Doakan aku sukses di malam pertamaku,” pintaku bercanda.

Aku berjalan mantap ke luar mesjid, menuju ke gereja yang ada di seberangnya.

Aku siap menjemput pengantinku. Allahu Akbar!!

Comments

Julian said…
okay, this is wicked if I understand what's the story about.
indigo wine said…
*impressed*

Nice, Bimo!!! super nice, ganti POV-nya smooth, alurnya bagus, dialognya bagus, INTI CERITANYA walopun klise tapi tetep indah yaaa..

great job! Just send it to any media, kawan...
MoMo said…
Thx my, enaknya gw kirim ke media mana yah? Lampu Hijau? :p

Popular posts from this blog

Tujuh...

Keputusan Sulit

#$@%$&$*