Lintang Kelana

Putih. Dingin. Matanya mengerjap-ngerjap membiasakan diri dengan cahaya terang yang menerobos kedua matanya. Tubuhnya menggeliat-geliat, mencari sesusup hawa hangat yang mungkin bisa ia dapatkan dalam ruangan ber-AC ini.

Dimana Aku? tanyanya dalam hati. Tak ada jawaban yang bisa ia dapatkan selain kesunyian dalam ruangan besar ini. Ia mencoba mendudukkan badannya, namun tak kuasa. Lelah sekali, seperti usai berjalan jauh.

"Hai!" terdengar suara dari ranjang di sebelahnya. Ia menoleh, nampak seseorang sedang terbaring, memandangnya lekat. Mereka terpisahkan oleh pembatas berupa plastik mika yang cukup tebal.

"Selamat datang di dunia!" ujar orang itu. Bibirnya tersungging manis, mulutnya sedikit terbuka menampilkan giginya yang nyaris tak ada.

Ia menampakkan ekspresi muka bingung.

"Aku kelana." ia berkata lagi. "Dan kamu?"

Kembali tak ada jawaban. Dan raut bingung masih tersisa di sana.

Kelana memandang ke sebuah bingkai bertuliskan kosong di atas ranjang. "Mmm.. belum bernama??" ia kemudian tersenyum, "Bagaimana kalau ku beri nama Lintang?"

"Lintang?" ia mulai bersuara. Untuk pertama kalinya.

"Ya," Kelana mengedipkan mata, setuju. "Seperti bintang, kulitmu bercahaya,"

"Oh.." Lintang membalikkan badannya. Ia merasa kelelahan luar biasa. "Bagaimana..."

"Bagaimana kita bisa bicara? Menyapamu?" Kelana memotongnya. Ia membiarkan sejenak pertanyaan itu menggantung di sana.

Lintang membalik badannya. Menatap wajah Kelana penuh minat.

"Kamu ingin tahu, bagaimana aku bisa tahu Lintang itu artinya bintang?" lanjut Kelana.

"Bagaimana bayi seperti kita bisa tahu segalanya?" Lintang memperjelas.

"Kehendak Tuhan," Kelana menjawab. "Kita diberikan-Nya kemampuan seperti ini, setidaknya sampai pukul 12 nanti," Kelana melihat jam dinding yang tergantung tepat di antara dua ranjang itu. "Tepatnya 2 jam lagi,"

"Kok?" Lintang masih tidak mengerti.

"Tak perlu banyak bertanya, Lintang." ujar Kelana sambil menatap langit-langit. "Atau pembaca akan segera bosan, menyeret cerita ini ke bawah layar, dan menemukan kita berdua sedang berciuman di sana,"

Lintang mengunci mulutnya rapat. Ia memejamkan matanya. Pikirannya berusaha mencerna peristiwa demi peristiwa yang baru terjadi.

"Kamu masih perlu banyak istirahat, Lintang," terdengar Kelana kembali bersuara. "Lihatlah tubuhmu sangat lemah. Kau terlahir prematur."

Keadaan hening selama beberapa saat.

Kelana memecah kebisuan dengan pertanyaan. "Kenapa kamu ingin keluar begitu cepat?"

Lintang membuka matanya. Bibirnya sedikit mengulas senyum. "Aku tak sabar menyapa dunia," senyumnya makin mengembang. "Melihat begitu banyak benda dan warna," tambahnya. "Bertemu dengan banyak orang. Kamu tahu, betapa bayi seperti kita bisa menghibur banyak orang?"

Kelana tertawa, "Suatu saat nanti ketika kamu dewasa, kamu mungkin tak akan berkata seperti ini,". "Hidup tidak semenyenangkan ketika kau berenang dalam air ketuban dan bermain-main dengan plasenta," Kelana mulai menerangkan. "Akan ada banyak tangisan dan derita. Kita harus bertahan hidup, bahkan dengan berbagai cara."

"Kamu apatis", tanggap Lintang.

"Memang begitu adanya." Kelana melakukan pembelaan. "Mungkin itu sebabnya, setiap bayi hadir ke dunia dengan menangis. Mengapa kita tidak tertawa lepas??"

Suasana hening kembali hadir.

"Kamu ada benarnya. Tapi kamu terlalu pesimis." ejek Lintang. "Kehidupan seperti sebuah kanvas warna yang kosong. Dan kewajiban manusia untuk mewarnainya. Kadang kanvas itu tidak begitu mulus. Ada permukaan yang berbatu, ada pula kain yang sobek. Dan bagaimana warna yang terulas disana, mencerminkan respon kita pada kehidupan," terangnya.

"Bayi yang muncul dari tiap rahim manusia mau tidak mau harus bertanggung jawab pada Sang Pemberi Hidup. Dan kamu harus melakukannya, apapun hasilnya." Lintang kembali bicara.

"Percayalah, Kelana, kita ini manusia pilihan. Kalau kau lihat jutaan sperma yang berebut membuahi ovarium Mama, kau mungkin akan merasa demikian. Bayangkan jika bukan sperma-mu yang juara? Mungkin hasilnya beda," Ia menghela napas panjang. "Dan mungkin kita tidak akan pernah bertemu, Kelana."

Kelana melirik kembali jam dinding itu. Tinggal sedikit waktu yang tersisa.

"Aku mencintaimu, Lintang." ujar Kelana tiba-tiba.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Kelana." ucap Lintang terkejut. "Kau bahkan belum tahu apa kelaminku." Lintang sedikit tertawa.

"Apakah cinta harus terdefinisi dari dua benda di bawah sana?" protes Kelana. "Saat ini kita berdua adalah putri Cinderella yang terikat pada waktu. Dan aku harus menyatakannya sekarang juga. Sebelum sempat, sebelum lewat. Bahkan sebelum etika bicara bahwa perempuan tak boleh menyatakan cinta pada sang pria."

Lintang mengangguk, "Baiklah, untuk semua ingatan yang super pendek ini," Lintang tersenyum. "Aku juga mencintaimu, Kelana." ujarnya pelan dan tegas.

"Berjanjilah kita akan saling mencari," pinta Kelana. "Jatuh cintalah pada orang yang tanggal lahirnya sama denganmu,"

Mereka berdua tertawa. Mengiringi waktu yang mulai menghitung mundur.

Kelana meletakkan bibirnya di sisi mika itu. "Cium aku," pintanya. "Setidaknya ini kado ulang tahunku yang ke 0. Ulang tahun kita."

Lintang tertawa, "Kau sudah gila, Kelana," ia mulai merapatkan tubuhnya pada satu sisi mika yang lain.

"Selamat ulang tahun, Kelana." bisiknya pelan.

Diiringi hembusan napas yang terjejak pada mika serta sentuhan bibir di kedua sisinya, mereka tertawa menyambut dunia. Ups, menangis sepertinya.




Untuk seseorang yang berulang tahun hari ini :)

[1] photo's taken from someone's flickr

Comments

iamedel said…
orang berulang tahun itu pasti hatinya melambung, menyundul-nyundul langit-langit rumah :D

mantap bim! ditunggu terbitan kumpulan cerpennya :D
MoMo said…
Hahahaha.. Syn.. udah lama ga ketemuan ni.. :D
utaminingtyazzzz said…
kalo ga salah yang ulang tahun hari ini Bu Lily deh. Ihik
cicianggitha said…
hmmm...sesosok perempuan muda yang namanya berakhiran "a" dan berulang tahun di bulan Mei.... *winkwink*

Popular posts from this blog

Tujuh...

Keputusan Sulit

#$@%$&$*