Sebuah Cerita : Siswanto

Many thanks buat cici dan mas danang buat kolaborasinya. Cihui lah..


Aku meletakkan rokokku di sudut asbak yang telah penuh dengan tumpukkan puntung dan abu. Ini rokok ketigaku meskipun sudah lebih dari 10 kali aku terbatuk. Barang sembilan senti itu layaknya Tuhan. Ku sembah dan tak dapat kutinggalkan. Ia bagaikan linggis yang bisa melancarkan gorong-gorong pikiran yang tersumbat. Orang yang sinis mungkin akan mencibirnya, tapi memang begitulah adanya. Aku harus menyelesaikan Berita Acara Pemeriksaan yang sesungguhnya remeh temeh. Tentang kasus tawuran remaja yang seperti trend fashion, makin hari makin menjamur saja.

Dering telepon kembali membuyarkan konsentrasiku. Setengah bersungut, kulihat layar ponsel menunjukkan asal panggilan. Rumah.

"Halo?", salamku
"Halo Pah," terdengar suara istriku dari seberang sana. Seseorang yang telah menemaniku hampir semperempat abad ini.
"Halo Mah. Ada apa?" tanyaku.
"Lagi apa, Pah?" tanyanya kembali.
"Ini lagi bikin BAP. Soal yang tawuran SMA itu. Papah pulang agak malem, yah Mah?" kataku
"Ahh.. Jangan malem-malem atuh. Mamah sendirian ini. Si Dian belum pulang sampai sekarang." rajuknya
"Belum pulang? Memang sekarang jam berapa?", aku coba melihat jam di dinding. Sudah pukul setengah sembilan malam. "Ya udah, nanti biar Papah yang telepon dia," lanjutku

"Tapi Papah, jangan kerja terus juga. Istirahat," pintanya.
"Siap Komandan!" seruku, menggodanya.

Telepon itu aku akhiri dalam senyum manis. Aku rogoh dompet dari saku celana bagian belakang, dan kubuka. Disana kulihat foto kami sekeluarga. Aku, istriku, dan juga Dian, anak semata wayangku. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Dan kini, aku memiliki anak yang beranjak dewasa. Sesungguhnya aku tak begitu ingin mengekangnya. Aku sering membandingkan masa kecilku yang begitu bebas dan penuh dengan petualangan gila. Akan tetapi pria dan wanita berbeda. Orang tua mana yang tidak khawatir anak perempuannya berkeliaran tanpa kabar di luar rumah? Segera saja kutekan tombol 7, sebuah panggilan cepat menuju ponsel Dian. Terdengar nada sambung...



"Halo, Assalamu'alaikum." sapa suara dari seberang sana.
"Wa'alaikum salam." jawabku
"Ini lagi meluncur ke rumah, Kapt!", katanya.
"Lho? Belum ditanya apa-apa kok??" tanyaku kaget.
"Ah, ya apal lah, Pah. Apalagi yang ditanya si Papah, selain Dimana Kamu Sekarang? atau Jangan Pulang Malam!", jawabnya
"Papahkan pengen tanya, gimana cuaca hari ini?" godaku, "Naik apa kamu?" tanyaku kembali
"Dianter nih.." jawabnya. "Eh, Pah. Ehmm... Ah ya udah deh,"
"Iya udah. Papah udah ngerti." jawabku. Ia pasti ingin memperkenalkan si pengantar itu sebagai pria yang istimewa untuknya. Setidaknya itu kode yang diberikan saat akan memperkenalkan pacar pertama dan keduanya dulu. Dian terkekeh, dan aku pun melanjutkan, "Nanti Papah tinggal minta laporannya aja sama Mamah. Ya udah hati-hati di jalan," ujarku menutup perbincangan.

Aku mengirim pesan singkat untuk istriku, mengabarkan posisi Dian. Setidaknya agar ia bisa sedikit lega mendengarnya. Kubuka kembali bungkus rokokku, membakar puntung keempat seraya berharap agar aliran ide dari kepala dapat mengalir lancar pada jari jemari yang menari di tuts keyboard ini. Aku harus mempercepatnya supaya bisa bertemu sendiri dengan pria pilihan anakku.

Kali ini suara percakapan polisi di Handie Talkie yang membuyarkan konsentrasiku. Meski sudah puluhan tahun mengabdi, aku sendiri bingung mengapa alat ini diciptakan dengan suara bergemerisik? Tidak seperti telepon selular saja, yang lebih nyaman di dengarnya. Terdengar laporan kecelakaan yang baru saja terjadi. Aku menghela napas. Kecelakaan adalah trend fashion lainnya, selain penipuan dan tawuran. Kuputar tombol volume untuk mengecilkannya, hingga komandan memanggilku. Memerintahkanku untuk membantu evakuasi korban yang terjepit kontainer. Hatiku berteriak, mengapa selalu saja pekerjaan muncul di akhir jam kerja?

Aku berjalan keluar saat sebuah mobil patroli polisi memasuki halaman kantor. Aku melihat rekanku keluar dari mobil bersama seorang pria. Kepala orang itu berlumuran darah. Kondisinya berantakan sekali. Sesekali ia membersihkan darah yang terus mengucur dengan kain yang ia pegang.

"Kenapa gak dibawa ke rumah sakit sih, Di?" tanyaku pada Edi.

Aku prihatin melihat keadaan pria itu yang sangat gelisah. Mungkin kesakitan. Tapi tanpa kuduga, si lelaki itu menjatuhkan diri di lantai teras kantor. Ia menangis menjerit meraung-raung. Aku mencoba memeluknya menenangkannya. Ia juga mendekapku dengan erat, seolah kecelakaan itu hal yang terburuk yang pernah ia alami.

"Tolong teman saya Pak!!" teriaknya sambil menangis.

Aku hanya memberikan sinyal mata pada Edi. Meminta penjelasan.

"Tolong teman saya Pak!!" lolongnya.
"Temennya masih terjepit di sana," jelas Edi.

Aku mencoba mendekapnya lebih erat. Kuusap punggungnya supaya tangisan itu makin mereda. Rasa kebapakanku kugunakan, apalagi pria ini tampak sebaya dengan Dian. Kali ini tangisnya mulai mereda

"Saya membunuhnya, Pak..." ujarnya lirih.
"Saya membunuhnya..." ucapnya sekali lagi, dan mulai menangis.

Aku mencoba menggenggam kedua tangannya yang berlumuran darah.
"Tenang, dek. Sabar ya," ucapku menguatkan.

Kuusap punggungnya lagi dan lagi, dan kemudian kuambil kain berlumuran darah yang dari tadi ia genggam erat. Hingga kusadari, itu bukan kain biasa. Tapi sweater yang sangat kukenal.

-----

Baca yaaa cerita lainnya :

Comments

pomponette said…
mooo...merinding ihh bacanya...bagus bgtt:)
MoMo said…
thx cep... :D
Akhmad Aldi said…
wah semacam Crash ini ya?
hani cantik said…
ih bimo serem, bagus deh
MoMo said…
@idla:

Ya mungkin bisa dibilang gitu kan, walau ga sekompleks crash lah...

@hani:
Plak! Aku serem? Emangnya aku genderuwo??

Popular posts from this blog

Tujuh...

Keputusan Sulit

#$@%$&$*