Sorry Seems To Be The Hardest Word

It's sad, so sad
It's a sad, sad situation.
And it's getting more and more absurd.


Mari kembali mengenang masa lalu. Tepatnya pada tahun 1997, ketika gw masih tampan-tampannya. Hahahahaa. Di sekolah gw ikut ekskul paskibra. Sebagai anak baru nan lugu, gw mau ga mau harus kenalan dengan anggota paskibra lainnya. Salah satunya dengan seorang teman bernama Dodo (bukan nama sebenarnya). Seiring berjalannya waktu, gw dan Dodo mulai akrab. Seringkali kami menghabiskan waktu bersama. Layaknya Beny and Mice, atau Abdel dan Temon, atau mas Rudi dan mas Lendro (yang terakhir maaf agak lokal :P).

Suatu waktu, organisasi yang kami ikuti ini berulang tahun. Bapak Dodo yang lebih terbuka dibanding gw yang pemalu ini, nekat ambil bagian dalam kepanitiaan inti. Gw si ga problem. Sampai akhirnya dia bilang kalau berhalangan hadir pun gw pahami. Padahal mengadakan acara dalam organisasi ini cukup merepotkan. Apalagi harus melayani kakak-kakak senior gila hormat itu. Di lain hari, kami lagi-lagi harus mengadakan acara buka puasa bersama. Sungguh nasib junior, harus menyediakan ina ini ita itu. Pada hari H, si Dodo itu tak hadir kembali. Kali ini tanpa kabar berita. Akhirnya gw pinjem slogannya Oma kalo manggil si Mischa, "Balakaciprut!!!". Koq kayaknya ni anak ga ada tanggung jawabnya sama sekali...

Gw masih ingat hari itu, kami mendapatkan shift belajar siang hari dari sekolah. Biasanya, sebelum masuk sekolah, gw ngobrol sama dia. Ya bicarain masalah organisasi, temen, sampe cewek. Hari itu, kebetulan gw belum kerjain PR biologi. Ketika datang, gw gasak aja LKS temen buat di copy paste (eh, dulu belum ada istilah itu kali..). Dodo datang. Memanggil gw dari ujung pintu kelas. Seperti hal biasa yang dia lakukan atau gw lakukan. Tapi hari itu mungkin Tuhan sedang memainkan episode tragedinya. Gw tidak bergeming. Tetap mengisi LKS, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Berulang kali dia panggil, tapi gw teringat peristiwa buka puasa kemarin. Akhirnya, dia beranjak dari pintu, hilang entah kemana.

Kami memang tidak sekelas. Keesokannya, gw ketemu berpas-pasan dengan pak Dodo itu di lorong sekolah. Ketika gw sapa dengan ramah, dia melakukan hal yang sama seperti yang gw lakukan di hari sebelumnya. Diam membisu, seolah-olah ga ada gw di situ.. Siapa sangka, kejadian itu menandai putusnya silaturahmi kami. Tiap kita latihan gabungan Paskibra, dia ga datang. Padahal seharusnya dia tau, bahwa kalo ga ada dia, gw jadi cowok sendirian. Sampe akhirnya gw memutuskan keluar dari Paskibra. Di kemudian hari gw tau, si Dodo masih bertahan di paskib sampe kelas 3.

Ga ada bayangan sama sekali bahwa ini bisa kejadian sama gw. Yang awalnya sangat dekat, akhirnya seperti orang yang ga pernah kenal. Gw ga tau apa yang ada di pikiran pak Dodo. Apa dia memang sudah benar menghapuskan memori pertemanan kami. Padahal tanpa dia tau, gw sering dihantui perasaan bersalah. Ya iyalah orang gw udah suudzon, udah mendiamkannya dalam seteru. Seteru kami lebih dari 3 hari. Lebih dari 3 tahun bahkan. Karena hingga kami lulus, ga ada satu ucapan maaf atau sapa yang terlontar dari mulut gw. Bukan gw ga mau, hanya gw takut dia memang sudah tidak pernah mengingat gw..



Kejadian di masa SMP itu membekas di diri gw. Kejadian itu adalah salah satu sebab yang bikin gw jadi hati-hati dalam mencari seorang sahabat. Karena kalau kita sudah merasa cocok, tapi jika Tuhan berkehendak lain ya ga bisa juga. Makanya gw ga pernah menyesal sudah diberikan pelajaran yang berharga. Hingga kemarin, setiap pak ustadz bertanya apa hutang yang belum gw bayar, gw selalu teringat akan janji gw untuk memastikan pak Dodo mengetahui permaafan gw. Beruntung ada Facebook. Gw add dia, dan menunggu dalam penantian. Begitu diconfirm, langsung saja gw kirimkan message permintaan maaf gw.

Gw lega.

[1] Photo by rahxun and kyoko-world @ deviantArt

Comments

Anonymous said…
oh promo fesbuk ternyata :D

~justJoking
~niceStory
MoMo said…
Hahahaha iya ya.. kalo gw pikir ini mah iklan fesbuk..

Popular posts from this blog

Tujuh...

Keputusan Sulit

#$@%$&$*