Mengalah = Terinjak - injak

Tiap pagi gw suka baca KoKi di satu sudut halaman situs berita besar. Artikel-artikel di sana ditulis oleh orang-orang awam, sama seperti gw. Ada yang lucu, sedih, dan juga ada yang bisa membuat gw tertegun setelah membacanya.

Seperti artikel yang ditulis mbak Amy di bawah ini.. Bagus untuk direnungi



Setiap pagi dan malam hari dalam perjalanan berangkat dan pulang kantor, menempuh jarak 38 km sendirian di dalam mobil di jalanan yang sepi (maklum perjalanan berangkat ditempuh pk.05.20 pada saat jalanan masih lengang, dan perjalanan pulang biasanya pada pukul 21.00 saat kepadatan lalu lintas Jakarta sudah berangsur mereda), siaran radio selalu setia menemani saya, mengusir perasaan sendiri dan membuat perjalanan pulang pergi bukan lagi sebuah rutinitas yang menjemukan, melainkan bagian yang menyenangkan dari aktivitas sehari-hari.

Memutar CD memang menyenangkan, karena saya bisa memastikan bahwa lagu-lagu yang diperdengarkan pasti lagu kesukaan saya. Tapi suara penyiar radio adalah kelebihan yang tak tergantikan, karena memberi perasaan ditemani. Menghibur, menambah pengetahuan, menginformasikan hal-hal yang aktual, bisa membuat kita manggut-manggut, mengernyit, menggeleng-gelengkan kepala dengan prihatin atau tersenyum-senyum geli sendirian.

Salah satu stasiun radio yang sering saya dengarkan siarannya (saya tidak pernah terlalu setia pada satu stasiun radio tertentu) adalah sebuah stasiun radio yang mengklaim diri sebagai radio bisnis. Di antara lagu-lagu yang diperdengarkan, selipan iklan, atau suara cuap-cuap penyiar, sesekali disisipkan informasi yang telah direkam terlebih dahulu. Satu dia antara informasi-informasi tersebut adalah forum penyampaian keluhan pelanggan.

Selipan informasi yang satu ini selalu berhasil memancing perhatian saya. Menarik sekali mendengarkan keluhan-keluhan yang disampaikan terhadap pelayanan rumah sakit, restoran, tv berlangganan, department store, penyedia jasa layanan telepon, dan sebagainya, yang seringkali juga merupakan cerminan keluhan saya sendiri. Lebih menarik lagi mendengar tanggapan pihak yang menjadi sasaran keluhan.

Pada suatu saat di bulan November ini, saya mendengar sebuah keluhan (dan tanggapan) yang menggelitik minat saya. Kurang lebih demikianlah kutipannya :

(Suara Penyiar :) ….bla bla bla….dan berikut adalah keluhan Ibu A di B, tentang pelayanan di DD Mall Z :

(Suara Pelanggan yang menyampaikan keluhan :)

Pada tanggal sekian saya membeli donat di DD Mall Z. Ketika saya tanyakan pada pramusaji, berapa harga selusin donat, sang pramusaji menjawab ‘Rp.X,-, bu’. Saya setuju dan donat pesanan sayapun disiapkan. Ketika melakukan pembayaran di kasir, pramusaji tersebut mengatakan dengan ramah : ‘Ibu mendapat hadiah sebuah kalender’ sambil memasukkan kalender tersebut ke dalam tas plastik berisi sekotak donat yang saya beli.

Pembayaran saya lakukan secara otomatis tanpa terlalu memperhatikan. Saya menyerahkan uang, kasir memberikan uang kembalian. Namun alangkah terkejutnya saya saat memeriksa kembali bon pembelian, beberapa saat setelah meninggalkan tempat tersebut. Harga yang tertera pada struk pembayaran bukanlah Rp.X,- sebagaimana disebutkan oleh pramusaji, namun Rp.Y,- yang jumlahnya lebih besar dibanding Rp.X,- yang telah saya sepakati. Setelah saya cermati, ternyata Rp.Y,- adalah harga paket 1 lusin donat + 1 buah kalender.

Saya kecewa terhadap pelayanan DD Mall Z. Jumlah uang yang ditambahkan sih tidak seberapa, tetapi saya tidak suka caranya. Kenapa kesan yang ditimbulkan adalah bahwa saya mendapat hadiah sebuah kalender, dan bukannya harus membelinya? Kenapa sang pramusaji tidak memberikan informasi dengan jelas dan menawarkan apakah saya bersedia membeli kalender dimaksud sebagai bagian dari paket 1 lusin donat? Kenyataannya, saya tidak membutuhkan kelender itu.

Saya kemudian juga teringat bahwa bersamaan dengan saya juga ada seorang ibu yang mendapat perlakuan yang persis sama dengan saya. Hanya saja saat itu saya tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang janggal.

Saya berharap agar di lain waktu DD Mall Z lebih memperhatikan pelayanan kepada pelanggan.

(Suara Penyiar :) Dan berikut ini adalah tanggapan Bapak C, store manager DD Mall Z :

(Suara Store Manager DD Mall Z yang menjadi sasaran keluhan Pelanggan : )
Jadi begini Ibu...pada bulan November ini DD memang sedang mengadakan promosi penjualan kalender tahun 2009. Kalau Ibu perhatikan, sebenarnya kalender itu bukan sekedar kalender biasa, karena di dalamnya ada kupon-kupon diskon yang bisa dimanfaatkan sepanjang tahun. Saat inipun persediaan kalender di toko kami juga sudah habis, karena peminatnya sangat banyak.

Saya tidak tahu yang terjadi di lapangan. Apakah pramusaji kami dalam keadaan terburu-buru sehingga lupa menawarkan pada ibu, atau ibu saja yang tidak dengar. Tapi kalender itu tidak pernah diberikan sebagai hadiah. Kami belum pernah menyelenggarakan program berhadiah kalender.

Sebenarnya Ibu termasuk yang beruntung, karena kalender itu berisi kupon-kupon diskon. Posisi kami saat ini juga sudah kehabisan stok, sedangkan pelanggan yang menanyakannya banyak sekali, mungkin sekitar 50 orang. Tapi kalau Ibu memang tidak mau membeli kalender itu, silakan kembalikan ke toko kami, nanti uangnya akan kami kembalikan.

Demikian forum keluhan pelanggan. Bagi Anda yang ....bla bla bla...

Apa yang paling menarik dari pernyataan-pernyataan di atas?

Perhatikan bahwa dalam tanggapan pihak yang menjadi sasaran keluhan tidak terdapat kata kunci yang, saya yakiiin sekali, paling ditunggu-tunggu oleh si pembuat keluhan : MAAF.

Apakah tidak lebih manis seandainya tanggapan sang Manajer dirubah sedikit menjadi:

Ibu A di B, sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas kesetiaan Ibu kepada produk-produk kami.

Kami ingin menyampaikan permohonan maaf kami yang sebesar-besarnya atas kejadian yang membuat Ibu merasa tidak nyaman.

Sebelumnya, kami ingin menjelaskan sedikit perihal program promosi kami saat ini. Berkaitan dengan makin dekatnya pergantian tahun, sebagaimana selalu kami lakukan dari tahun ke tahun, saat ini kami kembali meluncurkan produk kalender promosi. Kalender ini memiliki beberapa keunggulan. Di samping memiliki tampilan yang menarik untuk mendampingi aktivitas bisnis Anda setahun ke depan, kalender ini juga sekaligus berfungsi sebagai .......dan seterusnya.....

Apakah yang menyebabkan seorang manajer sebuah merek kelas dunia memberikan tanggapan yang tidak mendukung pembentukan citra yang baik bagi perusahaannya? Apakah di perusahaan tersebut tidak pernah diberikan pendidikan dasar pelayanan kepada pelanggan, khususnya kepada pelanggan yang mengajukan keluhan terhadap pelayanan yang diberikan? Bukankah dengan menimpakan kesalahan (atau setidaknya menimbulkan kesan bahwa pelanggan memiliki andil menyebabkan timbulnya kerugian bagi dirinya sendiri) justru merupakan langkah yang kontraproduktif? Sebegitu beratkah mengucapkan kata maaf? Sudah sebegitu terlupakankah sopan santun dalam kehidupan sosial (dan bisnis) dalam masyarakat kita dewasa ini?


_____________


Bila mengenang masa kecil saya, yang teringat oleh saya, disamping kenangan-kenangan manis betapa kreatifnya saya mengarang jenis-jenis kebandelan, adalah betapa telatennya kedua orang tua saya menanamkan budi pekerti kepada anak-anaknya.

Dalam hal sopan santun, kedua orang tua saya selalu menekankan pentingnya menggunakan 3 kata standar dalam pergaulan : Tolong, Maaf dan Terima kasih. Begitu merasuknya nilai-nilai ini tertanam, sampai-sampai saya sering merasa geli sendiri membayangkan, kelak anak-anak saya akan tumbuh menjadi contoh hidup anekdot orang Jawa yang mencolek-colek penumpang bis di sebelahnya sambil berbisik : ”Maaf Mas...Panjenengan menginjak kaki saya..”. He he he...

Bukan berarti kedua orang tua saya sukses berat menghasilkan anak-anak yang penuh sopan-santun. Namun setidak-tidaknya, kami hampir tak pernah lalai menjalankan amanat beliau dalam menggunakan ketiga kata tersebut dalam pergaulan sehari-hari. Sopan santun standar. Sederhana dan mudah dipraktekkan.

Mungkin itu disebabkan kami memang merasakan manfaat saran beliau. Paling tidak secara psikhis, saya selalu merasa hati saya berubah ringan setiap kali mendengar orang mengucapkan kata maaf atas kesalahannya kepada saya. Demikian pula sebaliknya, saya merasa sudah menunaikan separo kewajiban saya untuk memperbaiki kerusakan dan sakit hati yang saya timbulkan terhadap orang lain dengan mengucapkan permintaan maaf. Demikian juga halnya dengan ucapan tolong dan terima kasih.

Saking standarnya, rasanya jadi aneh kalau menjumpai pribadi-pribadi yang enggan mengucapkannya. Masa gitu aja berat sih? Sampai-sampai anak saya suka berkomentar dengan keheranan : Ibu, masa Ibu-Ibu itu tadi, sudah dewasa, kok dikasi ngga mau bilang terima kasih ya?

Saya yakin pengalaman ini bukan milik saya pribadi. Hampir semua anak-anak yang hidup sampai dengan generasi saya (dan mudah-mudahan juga setelahnya), mengalami pola pendidikan yang kurang lebih sama. Setiap suku bangsa di dunia tentunya mengenal standar sopan santun paling sederhana ini. Terutama sekali, setahu saya, inilah salah satu contoh standar adat ketimuran yang kita agung-agungkan itu.

Namun pengalaman ternyata bercerita lain. Ketika saya sudah dewasa dan hidup di kota besar yang kurang ramah seperti Jakarta, banyak kejadian saya alami yang akhirnya memunculkan pikiran di benak saya : Apakah reaksi masyarakat yang cenderung enggan mengalah, enggan meminta maaf, selalu mengambil posisi superior dibanding orang lain, adalah perwujudan dari perasaan tidak aman? Keyakinan bahwa bila kita mengalah, merendah, meletakkan diri sejajar dengan orang lain, maka kita akan diinjak-injak?

______________

Pada suatu akhir pekan kurang lebih setahun yang lalu, saya bersama anak-anak saya dan kedua orang tua saya yang sedang berkunjung menjenguk cucu-cucunya pergi berbelanja ke pasar. Pembagian tugasnya : saya dan Ibu saya berbelanja, Ayah saya ngemong cucu-cucunya. Ketika acara belanja plus jalan-jalan itu usai, kami semua meluncur pulang. Kebetulan Ayah saya yang mengemudikan mobil (walaupun sudah berumur, namun Ayah saya memiliki stamina yang sangat prima dan terbiasa mengemudi sendiri). Mungkin karena kedua anak saya asyik mengganggu kakeknya dengan ocehan-ocehan mereka, sehingga Ayah saya kurang berkonsentrasi mengemudi. Di persimpangan, mobil kami tanpa sengaja membentur sisi mobil lain.

Kedua mobilpun menepi. Ayah saya langsung meminta maaf atas kekhilafannya, walaupun beliau tidak bisa bicara banyak karena shock. Saya yang merasa bertanggung jawab karena mobil yang digunakan untuk menabrak mobil lain itu adalah mobil saya, segera mengambil alih.

Yang pertama-tama saya lakukan, pastinya, adalah meminta maaf, baik atas nama Ayah saya maupun saya sendiri. Untuk mengekspresikan rasa bersalah dan tanggung jawab saya, saya menawarkan pada pengemudi mobil tersebut untuk memasukkan mobilnya ke bengkel, dan membebankan tagihan bengkel kepada saya. Reaksi pengemudi mobil yang kami tabrak memang tidak meledakkan emosi berlebihan, namun bukannya menerima tawaran saya, beliau malah menuntut saya menyewakan mobil pengganti seharga Rp.2 juta sehari selama mobilnya diperbaiki di bengkel. Ketika saya jawab bahwa bengkel yang bagus pasti memberikan pinjaman mobil pengganti selama mobil kita diperbaiki, beliau tetap bersikeras dan menjawab berputar-putar, sehingga saya bingung. Baru belakangan, beliau mengakui bahwa mobilnya dilindungi asuransi. Hal itu menjelaskan mengapa beliau berkelit menolak tawaran saya, namun tetap tidak menjelaskan mengapa beliau menekan saya untuk menyewakan mobil pengganti (padahal sehari-harinya beliau, sebagaimana juga halnya dengan saya, memanfaatkan transportasi kereta api untuk bekerja).

Belakangan masalah ini kami selesaikan dengan memberikan ganti rugi sekedarnya (tunai) sambil sekali lagi menyampaikan maaf (termasuk untuk perdebatan yang timbul pasca peristiwa tabrakan) dan bertandang ke rumah beliau.

Saya yakin bapak yang menjadi korban tabrakan oleh mobil saya ini adalah orang yang baik. Buktinya kemudian komunikasi kami tetap terjalin, saling mengucapkan selamat pada perayaan Idul Fitri dan Natal. Anak sayapun tetap mengenang anak-anaknya (maklum, namanya juga anak-anak, mereka justru menemukan teman dan jadi bersemangat dengan kejadian mengejutkan itu). Namun apa yang mendasari reaksi beliau pasca tabrakan?

Mungkin memang demikianlah gambaran penduduk Jakarta. Di kota yang keras ini, siapa yang mengalah akan diinjak-injak (atau paling tidak begitulah yang kita pikirkan). Di sini tidak ada kepastian hukum. Semua orang kuatir hak-haknya terpinggirkan. Itulah sebabnya reaksi spontan setiap orang setiap kali menghadapi insiden adalah bertahan dan sebisa mungkin menekan. Layaknya sepak bola, pertahanan terbaik adalah dengan menyerang. Setiap insiden disikapi sebagai perang pribadi. Meminta maaf adalah sesuatu yang semakin berat dilakukan, karena dianggap merupakan cerminan posisi yang lemah.

Lalu, bagaimana kelak di kemudian hari anak-anak saya akan memberikan pendidikan budi pekerti dan sopan santun pada cucu-cucu saya? Masihkan di masa itu ketiga kata sakti sopan santun dikenal dan dipergunakan? Atau, sekali lagi, jangan-jangan mereka yang masih mempraktikkannya hanya tinggal menjadi contoh hidup anekdot yang sudah ketinggalan jaman?


[1] Sumber foto

Comments

Anonymous said…
nice post bim....
Akhmad Aldi said…
mangkanya Mo ... klo mo bawain donat ke Lt.5, engga DD juga gapapa

masi ada
JC
KK
IC
QB

ditunggu ya Mo

Popular posts from this blog

Tujuh...

Keputusan Sulit

#$@%$&$*